Covid 19: Virus Transformatif

Pada saat umat Katolik merayakan Minggu Palma, 5 April 2020 dari rumahnya masing-masing, jumlah orang di Indonesia yang terinfeksi virus Korona Covid-19 sudah melampaui angka 2.000. Menurut berita RRI Pro-3 (6 April 2020), jumlah yang positif Covid-19 mencapai 2.491 orang. Yang dinyatakan sembuh berjumlah 191 orang, dan yang meninggal mencapai angka 209 jiwa. Angka ini menunjukkan penyebaran virus yang masih begitu cepat, belum ada tanda-tanda mereda. Di negara-negara lain seperti Italia, Spanyol, Iran, Prancis dan Amerika Serikat angkanya sudah mencapai puluhan ribu. Sudah lebih dari 189 negara terjangkiti. Negara-negara sungguh kewalahan menghadapi begitu banyaknya korban yang berjatuhan.
Akhir dari kisah sengsara Yesus menurut Injil Matius (Mat. 26:14 – 27:61) yang dibacakan pada Minggu Palma meninggalkan kesan menggantung, ada suasana ketidakmenentuan, suasana kelabu. Sesudah sebuah batu besar digulingkan untuk menutup kubur Yesus, kita hanya bisa menunggu bersama Maria Magdalena dan Maria yang lain. Susana ini mirip dengan dunia kita yang sekarang ini berada di lorong gelap yang ujungnya tertutup batu besar, batu ketidakpastian tentang kapan wabah ini akan berakhir. Beberapa negara, kota-kota, dan desa-desa sudah mengkarantina diri. Sisi gelap dari dampak wabah ini sudah begitu banyak disajikan di media. Di ujung ketidakpastian ini kita mesti mencoba untuk melihat sisi terangnya. Kiranya, di balik wabah ini terkandung rahmat Tuhan yang menunjukkan ke arah mana kita harus melangkah.
Kebijakan yang menganjurkan orang lebih banyak tinggal di rumah dapat merekatkan kembali hubungan personal antaranggota keluarga. Selama ini hubungan antaranggota keluarga dibuat renggang oleh kesibukan masing-masing di luar rumah, apalagi dibarengi dengan hadirnya gadget yang menyita perhatian. Kini ruang keluarga telah menjadi ruang kebersamaan yang kreatif: bekerja, belajar bersama, diskusi bersama, dan beribadat bersama. Semua dilakukan dari dalam rumah. Kita disadarkan betapa pentingnya nilai keluarga sebagai dasar dari pertumbuhan Gereja dan masyarakat.

Lebih dari waktu-waktu sebelumnya, kita semakin menghargai kebersihan. Kita dianjurkan untuk memakai masker bila bepergian, sering mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, menghindari kerumunan, dan lebih mengendalikan diri untuk mengumbar keinginan berbelanja di mall. Kebersihan diri dan menjaga jarak ternyata menjadi bahasa untuk menunjukkan cinta kita kepada orang lain. Untuk beberapa waktu transportasi darat, laut dan udara dibatasi. Langit menjadi lebih bersih dan cerah. Bumi bisa bernafas lagi. Kita berharap kesadaran untuk pelestarian bumi sebagai rumah kita bersama juga semakin meningkat.
Cara kerja yang baru secara on line mulai diterapkan di berbagai lembaga pendidikan, perusahaan, dan pemerintahan. Tentu untuk sebagian hal ini masih merupakan hal yang belum lancar, karena keterbatasan infrastruktur dan ketrampilan menggunakan teknologi baru. Umat katolik, dan umat beragama lainnya, mulai mengalami beribadat secara on line, sebuah cara yang tidak seperti biasanya. Hal ini akan mempunyai konsekuensi lebih lanjut. Meskipun cara ibadat on line diterapkan dalam situasi darurat, sebagaian umat mulai bertanya secara kritis: “Kalau kita sudah bisa beribadat secara on line, bukankah keberadaan gedung gereja menjadi relatif? Apa masih perlu membangun gedung gereja yang megah? Lebih lanjut perlu dipikirkan lagi apa/siapa itu gereja/Gereja? Apa konsekuensi selanjutnya yang harus dipikirkan dari segi liturgi, teologi, ekklesiologi, dan pastoral? “
Merebaknya wabah Covid-19 di seluruh dunia juga menumbuhkan semangat solidaritas dan kolaborasi antarmanusia, antarkelompok, dan antarnegara. Beberapa negara yang sedang berkonflik mengadakan gencatan senjata. Misalnya, Palestina dan Israel yang biasanya saling bunuh, saat ini bahu membahu untuk mengatasi wabah ini bersama-sama. Di tanah air inisiatif-inisiatif untuk menolong orang-orang yang terdampak wabah juga bermunculan. Ada usaha penggalangan dana, pembagian sembako bagi keluarga yang kurang mampu, munculnya kelompok-kelompok relawan, dan sebagainya. Manusia semakin sadar akan ketergantungan satu sama lain. Berkolaborasi lebih bermanfaat daripada berperang satu sama lain.

Kecanggihan teknologi senjata nuklir yang dimiliki oleh negara-negara maju terlihat tidak ada kekuatannya untuk membinasakan virus ini. Para pemimpin negara mesti berpikir ulang, apa gunanya mempunyai senjata canggih, tetapi sebelum sempat menggunakannya, rakyatnya sudah diserang habis-habisan oleh virus yang tak kasat mata ini dan toh Negara kebingungan melindungi mereka. Apakah tidak lebih baik anggarannya dipakai untuk proyek-proyek yang menyejahterakan rakyat? Banyak negara telah merelokasikan kembali dana-dananya, diprioritaskan untuk menangani wabah ini. Bukankah membangun sistem kesehatan yang handal lebih bermanfaat bagi rakyat daripada membuat proyek-proyek mercusuar? Ingat bahwa masih ada 800 virus baru yang berbahaya dan belum ada vaksinnya. Tinggal tunggu waktu untuk menyerang manusia.
Sekarang ini mulai tumbuh penghormatan dan penghargaan masyarakat terhadap para petugas medis. Mereka inilah yang setiap hari dengan mempertaruhkan nyawa melayani para pasien. Sederet dokter dan perawat sudah meninggal dunia setelah habis-habisan melayani pasien. Semoga panggilan untuk menjadi tenaga medis di kalangan orang muda akan meningkat. Kita semakin disadarkan bahwa ketahanan sebuah negara tidak hanya dijamin terutama oleh tersedianya pasukan bersenjata, tetapi juga harus ditopang oleh sistem kesehatan terpadu-holistik dan pasukan tenaga medis yang handal. Kesehatan manusia juga terkait dengan perilaku manusia terhadap libgkungan hidup.
Sisi terang terakhir yang ingin saya ungkapkan adalah hal yang berkaitan dengan masalah eksistensial bagi manusia siapa pun, yaitu fenomena kematian. Sekarang kematian menjadi begitu dekat. Tanpa ancaman kematian manusia sering mudah terasing dari dirinya sendiri. Apalagi kalau manusia sudah lekat tak teratur terhadap kekuasaan, kekayaan, kehormatan, dan agenda-agendanya. Dalam situasi biasa orang mudah mengalihkan pikiran tentang kematian dengan kesibukan yang menghibur diri. Kini, ancaman kematian begitu masif mendera manusia setiap hari. Kegelisahan komunal akibat wabah Covid-19 ini bisa menjadi efek kejut bagi manusia. Semoga situasi di puncak kesendirian manusia di hadapan tubir kematian ini membangun kepedulian pada nilai kemanusiaan dan cara hidup yang lebih otentik.
Bila sisi-sisi terang tersebut di atas semakin bertumbuh, dapat dikatakan bahwa virus Covid-19 ini selain membawa dampak yang bersisi gelap, sebetulnya juga menjadi “Virus Transformatif” yang memotivasi manusia untuk berubah menjadi lebih baik, sejalan dengan tujuan ia diciptakan. Semoga batu penutup lorong gelap itu segera terguling, sehingga manusia mampu melihat cahaya yang mengarahkannya pada cara hidup yang baru. Tuhan sedang menulis lurus di garis yang bengkok-bengkok.
Romo Iswarahadi SJ