Tue. Jan 21st, 2025

Keuskupan Agung Pontianak

Instaurare Omnia in Christo

Mimpi Anak Kampung dari Pedalaman Menyumbung, Kabupaten Ketapang, Kalbar

MENYUMBUNG itu benar-benar udik. Jauh dari pusat kota, Ibukota Kabupaten Ketapang di Kota Ketapang. Butuh perjalanan darat dan melalui aliran Sungai kurang lebih 10 jam dari Ketapang.

Tidak ada listrik permanen dari PLN di Menyumbung. Yang ada hanyalah listrik byar pet. Tergantung dari tersedianya solar untuk bisa mengoperasikan genset.

Bill Gates sekali waktu mengatakan berikut ini. “Jika anda terlahir dalam kemiskinan itu bukanlah kesalahan anda, tapi jika anda mati dalam kemiskinan itu adalah kesalahan anda,”kata orang kaya ini.

Pahit manisnya perjuangan kedua orangtuanya untuk mendidik dan membesarkannya juga menjadi motivasi baginya agar lebih giat dan bersemangat untuk bisa memberi yang terbaik untuk kedua orangtuanya, Dan keluarganya juga menyadari itu semua.  Beranjak dari ketidakmampuannya, ia terus berusaha meski dalam perjalanan hidupnya kerap kali gagal.

Dalam hidupnya banyak hal yang dia alami. Berawal dari ia duduk di bangku SMP, ia tidak memilih tinggal di kos-kosan, ia lebih senang untuk berpergian dari kampung menuju sekolahnya. Sementara, perjalanan dari kampung menuju sekolahnya ia harus menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit menggunakan motor. Bahkan sering kali, semasa masih  sekolah dulu, ia harus rela berjalan kaki dari kampung halamannya menuju sekolah dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam dua puluh lima menit.

Dengan harus jalan kaki ke sekolah, maka ia mesti sudah harus siap untuk bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan diri agar tidak terlambat datang ke sekolah. Bahkan sepulang sekolah, jika tidak ada tumpangan, ia pun sanggup untuk berjalan kaki.

Heri Yandi Diomedes ketika bersama keluarga di kampung halamannya.

Terkadang kerap kali harus bisa bertahan agar tidak kelaparan dan kelelahan. Karena itu, ia sering mengambil singkong orang untuk ia makan. Sepulang sekolah untuk sekedar bisa mendapatkan uang jajan, ia harus pergi ke kebun karet untuk menoreh, agar dapat menghasilkan uang jajannya.

Setelah tiga tahun lamanya di bangku SMP,  ia bisa melanjutkan studi tingkat SMA. Namun,  ia tetap masih mengalami hal yang sama: jalan kaki bolak-balik dari rumah ke sekolah.

Setiap kali ia pulang sekolah ia selalu menoreh di kebun karet milik neneknya, sepulang menoreh ia sanggup untuk melanjutkan dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya yaitu mengikuti kegiatan bela diri yang di namakan PESHATERATE. Bahkan sering kali ia pulang subuh untuk dapat menjemput adiknya sekolah juga, dan setiap hari nya ia alami.

Kegigihannya untuk menjalankan aktivitas dan kewajibannya menyelesaikan sekolah tentu karena dia punya keinginan. Nantinya bisa berguna bagi kedua orangtuanya, tidak ingin membebankan kedua orangtuanya. Ini karena sadar kehidupan orangtuanya tidak seperti yang lain. Hal ini tidak membuat dia patah semangat untuk terus melangkah kedepan agar bisa sukses.

Pengalaman hidup
Pertama, pada saat ia duduk di kelas dua SMA,  ia berkenginan mau menjadi seorang pastor.  Namun hal ini tak sejalan dengan keinginan orangtuanya.

Kedua orangtuanya menginginkan agar ia boleh melanjutkan pendidikan sampai pada perguruan tinggi. Kedua orangtuanya menyadari bahwa mereka tidak punya pendidikan untuk itu mereka ingin agar pria ini boleh merasakan pendidikan yang lebih dari apa yang dimiliki kedua orangtuanya.

Kemauan untuk menjadi seorang imam selalu menghantuinya dan keinginan itu mulai muncul ketika ia mengalami hidup susah tinggal di asrama sekolahnya. Untuk berhemat, ia hanya membeli sayur kacang seharga Rp. 7.000 untuk bisa dihemat selama tiga hari. Selama tinggal di asrama, ia hanya dibekali beras dari kampung dan uang Rp100.000 untuk biaya makan satu bulan.

Meskipun mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu, tetapi semangat untuk mendidik anaknya tak hanya berhenti di situ. Mereka tidak ingin pria ini hanya menyandang ijazah SMA. Ia berharap agar pria ini boleh melanjutkan ditingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Kedua, pada saat menempuh dunia pendidikan di salah satu universitas swasta di Pontianak, saat di semester kedua  ia mengalami hidup pahit. Waktu itu, ia tinggal dengan saudaranya di sebuah rumah kontrakan. Namun, seiring berjalannya waktu kurang lebih satu tahun ia tinggal bersama saudaranya di rumah kontrakan, ia sempat kehabisan beras dan uang. Untuk makan saja susah. Semuanya sudah tidak ada lagi. Untuk menghubungi kedua orangtuanya saja tidak bisa, karena jauhnya tempat tinggal kedua orangtuanya dari perkotaan, akses  menelpon susah.

Ia sempat merenung kelaparan dan untuk bertahan hidup ia hanya mencari sayur di sekitar rumah untuk dimasak dengan menggunakan air putih dengan cara direbus.

Heri Yandi Diomedes

Ia menyadari untuk bertahan selama kuliah tentu tidak mungkin baginya jika kehabisan beras hanya bertahan dengan sayur-sayuran yang ada di sekitar kontrakannya saja. Dan akhirnya ia mencoba untuk mencari tempat tinggal yang murah dan akhirnya ia mendapatkan sebuah asrama.

Di asrama itu, ia tidak dipungut biaya sepeser pun; dengan tinggal di asarama tersebut tentu sudah mengurangi biaya kontrakannya. Dan selama tinggal di asrama tersebut, ia harus menyesuaikan diri dan harus mengikuti peraturan yang ada di tempat tinggalnya tersebut.

Seriring berjalannya waktu, setiap paginya ia selalu mengikuti jam ibadah, misa atau kata lain sembayang pagi hari. Setelah mengikuti jam ibadat, ia pun selalu membantu apa yang bisa ia kerjakan antara lain membersihkan lingkungan rumah pastor menyapu halaman, menyiram bunga, membersihkan selokan, membersihkan kolam ikan, serta menanam bunga dan menghiasi bunga yang ada di taman depan rumah pastor.

Tidak hanya itu, terkadang ia pun harus membersihkan kandang binatang peliharaan pastor.  Melihat kerajinan yang ada pada pria ini,  pastor tersebut pun tersentuh hatinya berkeinginan untuk membantu membayar biaya kuliah.

Seiring berjalannya waktu ,ia mendapatkan informasi tentang penerimaan prajurit TNI AD enam bulan sebelum mengikuti tes ia selalu mempersiapkan diri dengan melatih fisik, belajar dan terus belajar. disertai dengan doa.

Ia berharap, apabila bisa diterima menjadi prajurit TNI, tentu ia tidak membebankan kedua orangtuannya, dan tidak lagi membebani seorang pastor. Ini mengingat kedua orangtuanya hanyalah seorang petani dan tidak ada penghasilan lain, selain berladang. Juga karena  keterbatasan ekonomi yang sangat minim.

Kedua orangtuanya ini tinggal di sebuah gubuk yang hanya berukuran 4x6M, beratapkan daun sagu dan dinding yang bolong.

Ia yakin dirinya bisa diterima dalam seleksi ini. Meskipun pendaftaran ini gratis, namun ia tetap kekurangan uang untuk mengurus keperluan untuk mempersiapkan berkas, formulir, cek kesehatannya .

Untuk membantu anaknya, ibu dari praa ini akhirnya menjual satu-satunya harta yang berharga  yaitu kalung emas, cicin dan gelang.  Itu pun dijual demi membantu keberhasilan anaknya. Pria ini tahap demi tahap mengikuti seleksi dan hal itu berhasil dia lewati dan membuat dia yakin bisa di terima menjadi prajurit TNI AD.

Namun perjuangan yang dia jalani pun tidak menghasilkan apa yang ia harapkan, gagal, gagal dan gagal lagi. Kedua kali kegagalan yang ia alami tidak membuat ia putus semangat untuk terus berjuang. Ia pun melanjutkan kuliahnya agar apa yang diharapkan kedua orang tuanya dapat diselesaikannya dengan baik. Walapun harus mengalami kegagalan.

Pada saat menjelang penyelesaian skripsinya,  ia pun lagi-lagi mengalami kesulitan dalam ekonomi. Karena banyak hal yang harus ia bayar, dan biaya yang dibutuhkan bukanlah hal yang sedikit bagi ia yang mempunyai orang tua sekedar bertani.

Ia pun sempat menyerah dan berkeinginan untuk dapat mencari kerja terlebih dahulu.  Namun berbagai perusahaan tempat yang dia lamar tak ada satu pun yang menerimanya. Ia telah mencoba melamar kerja di hotel, bank, perusahaan swasta, dan bahkan di warung-warung makan. Semua tak menerima lamarannya.

Ia akhirnya sempat pulang kampung dan minta bantuan kepada kedua orangtuanya dan membujuk untuk harus menjual sebidang tanah untuk biaya penyelesaian kuliah. Karena belas kasihan kedua orangtuanya terhadap anaknya yang tak pernah putus asa dalam mengapai kesuksesannya,  akhirnya mereka menjual tanah dengan ukuran kurang lebih 2 hetkar dengan harga Rp. 6.500.000,00 (Enam juta lima ratus ribu rupiah). Dan tanah yang dijual merupakan warisan yang nantinya akan di wariskan kepada pria tersebut.

Dengan membawa uang sebesar Rp. 6.000.000 akhirnya ia balik kekota untuk dapat menyelesaikan kuliahnya, selesai sudah biaya skripsi yang ia butuhkan. Namun setelah sidang skirpsi, tentunya masih ada biaya yang harus ia bayar untuk biaya mengikuti yudisium, dan biaya yudisium tersebut sebesar Rp. 350.000.

untuk membayar biaya yudisium pun ia tak punya, dikarenakan sudah kehabisan uang, dan akhirnya ia mendapatkan bantuan melalui teman satu angkatannya. Dan temannya tersebut adalah seorang Polwan yang bertugas di sebuah kota di Kalbar.

Ia berpikir bahwa dengan selesainya yudisium, tidak ada lagi biaya yang harus dibayar. Namun,  ternyata untuk mengikuti wisuda masih ada biaya yang harus ia bayar kepada pihak kampus.

Beruntungnya sebelum wisuda,  ia pun diminta salah satu pastor yang berbeda tempat tinggal dari tempat yang lama untuk dapat bekerja di kantor dan menjadi pelayanan di salah satu gereja terbesar di kota.

Ia mengalami kesulitan membayar biaya wisuda dan akhirnya ia dibantu salah satu pastor tempat di mana ia bekerja.  Ini untuk membayar biaya wisudanya. Ia minta pinjaman kepada pastor tersebut.

Dua hari sebelum hari wisudanya, ia mendapatkan telepon dari kedua orangtuanya mengatakan tidak bisa hadir di hari wisuda. Tak ada cara yang dapat membantu mereka, selain dari pada harus menjual seekor babi peliharaan mereka, untuk biaya perjalanan kedua orangtuanya agar bisa hadir di hari wisudanya. Akhirnya kedua orangtuanya itu pun datang dengan bermodalkan menjual seekor babi peliharaannya untuk bisa datang di hari wisuda pria ini.

Satu motivasi yang tak pernah menyerah baginya adalah berikut ini.  Ketika saudara kandungnya gagal dalam menempuh pendidikan, ia harus bisa memberi yang terbaik untuk kedua orangtuanya, walaupun harus melewati berbagai macam rintangan, dan kegagalan.

Ia pun termotivasi apa yang di katakan oleh Thomas A. Edison: “Saya belum gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak efektif.”


Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara yang boleh sukses dalam menempuh pendidikannya, walaupun dalam hidup belum terbukti. Setidaknya, sampai saat ini ia sudah bisa membuat kedua orangtuanya bangga dengan menyelesaikan kuliahnya dengan baik.

Bahkan kini ia rela meninggalkan keluarganya  untuk merantau di negeri orang demi mencari pengalaman yang tentunya belum pernah ia rasakan sewaktu ia sekolah. Ia berharap dengan bekerja di luar,  ia bisa membalas kebaikan yang selama ini ia rasakan dari perjuangan kedua orangtuanya, yang tiada lelah berjuang untuk keberhasilannya.

Brian Tracy mengatakan:  “Tidaklah penting dari mana Anda berasal. Yang penting adalah ke mana Anda akan melangkah.”

Heri Yandi Diomedes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2019 Keuskupan Agung Pontianak