Malam Pentas Seni HUT STT Pastor Bonus dan STAV ke-20
Gegap gempita perayaan malam pentas seni dalam rangka memeriahkan perayaan HUT STT Pastor Bonus dan STAV ke-20 berlangsung di Seminari Antonino Ventimiglia kompleks STT Pastor Bonus yang berada di Jl. 28 Oktober, No. 5, Siantan Hulu, Pontianak Utara. Malam pentas seni yang berlangsung selama dua malam berturut-turut dari tanggal 16-17 Oktober 2018 ini dimeriahkan oleh beberapa Sanggar yang ada di Pontianak, OMK dari berbagai Paroki, Ibu-ibu WK, para Alumni dan para Frater STT Pastor Bonus. Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus juga tidak ketinggalan menghibur para undangan dengan suara emasnya melalui tembang-tembang andalannya.

Hadir pada malam pagelaran pentas seni 4 Uskup dari Regio Kalimantan yakni Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus Uskup Sintang Mgr. Samuel Oton Sidin OFMCap,Uskup Agung Samarinda Mgr. Yustinus Harjosusanto MSF, Uskup Palangkaraya Mgr. Aloysius Sutrisnaatmaka MSF. Selain itu panitia juga mengundang 57 alumni, 54 imam, 3 orang diakon, 28 Frater, para Dosen STT Pastor Bonus, dan sejumlah OMK dari Regio Kalimantan.

Acra malam pentas seni diawali dengan sambutan dari Romo Lukas Ahon CP selaku Panitia HUT STT Pastor Bonus dan STAV ke-20. Dalam sambutannya Romo Paroki St. Fidelis Sungai Ambawang ini mengajak seluruh tamu undangan yang hadir untuk bersama merayakan syukur atas rahmat Tuhan yang telah menyertai jejak langkah perjalanan STT Pastor Bonus dan STAV yang menjadi tempat pendidikan para calon imam.

Kemudian acara dilanjutkan dengan sejumlah pementasan berupa perfoma gerak, tari, drama dan tembang. Di tengah tabuhan aneka seperangkat alat musik tradisional dari panggung berlatar belakang lukisan motif etnis Dayak, ada pertunjukan drama yang menarik yang dibawakan oleh 28 OMK Paroki Sungai Ambawang. Drama yang mengusung tajuk “Borneoku, Surgaku” ini merupakan besutan dua penggiat seni asal Sungai Ambawang yakni Pius Asiang dan Florensius Loren.

Menurut Pius Asiang dan Florensius Loren, drama yang menggambarkan kerusakan ekosistem lingkungan ini diawali dengan cerita masyarakat adat Dayak yang hidup di hutan yang asri dan dipenuhi pepohonan. Seperti biasa, di tengah hutan yang lebat, para wanita Dayak memetik sayuran untuk cadangan makanan mereka, dan para lelaki Dayak memburu babi hutan untuk kelansungan hidup mereka.

Mereka hidup dengan tentram dan damai, sampai akhirnya, ada beberapa orang Dayak yang tergiur dengan harta, kemudian menjual hutan mereka kepada pengusaha Sawit. Hutan mereka digarap habis kemudian ditanami sawit. Masyarakat yang tinggal di hutan tersebut marah, kemudian mereka menebang sawit tersebut. Bukannya meminta maaf karena telah merusak hutan mereka, para pengusaha malah melaporkan mereka kepada pihak yang berwenang, kemudian mereka dimasukkan ke penjara.

“Kami mengambil cerita drama “Borneoku,Surgaku” dari kejadian nyata di tanah Kalimantan. Kalau kita bandingkan berpuluh-puluh tahun yang lalu hingga sekarang, dahulu kehidupan masyarakat adat Dayak begitu tentram dan damai sebelum masuknya perusahaan terutama perusahaan kelapa sawit berskala besar. Hutan digarap kemudian ditanami kelapa sawit, sehingga merusak keseimbangan ekosistem lingkungan,”kata Pius Asiang sembari berharap agar Orang Muda Katolik memiliki kepedulian terhadap kelestarian alam di bumi Kalimantan yang kini diambang kehancuran.
By. Sinta, Komsos KAP