Thu. Apr 25th, 2024

Keuskupan Agung Pontianak

Instaurare Omnia in Christo

Museum di- Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang

Suasana salah satu sisi museum peninggalan para missionaris

Berbicara tentang Kalimantan Barat, tentunya tidak terlepas dari sejarah. Menyinggung tentang sejarah maka tidak terlepas juga dengan benda-benda antik yang sempat terekam perjalanan jejak sejarahnya.

Hal itu bermula dari pikiran terdahulu “misionaris Belanda” yang datang ditanah Kalimantan Barat untuk mengukir jejak Iman Katolik.

salah satu bagian dari banyaknya barang peninggalan sejarah di museum

Di tengah pelayanan para misionaris Kapusin saat itu, melihat bahwa suku Dayak punya barang antik yang pantas untuk dimuseumkan. Bagaimana tidak, ini berawal dari kecintaan mereka terhadap budaya, maka dari itu kita yang suku aslinya jangan sampai meninggalkan budaya, pesan Pastor Gery OFMCap.

Diambil dari sejarah singkat tentang kedatangan misionaris pertama, pada tanggal 11 Februari 1905 pulai Borneo diserahkan oleh pimpinan Gereja Katolik di Roma kepada para biarawan Kapusin dari Propinsi Belanda sebagai daerah misi dalam bentuk prefektur apostolik.

10 April berikutnya Pater Pasifikus Bos, Propinsial Propinsi Belanda, diangkat menjadi Prefek Apostolik Borneo dan beberapa hari kemudian lagi 3 Pater dan 2 Bruder Kapusin dipilih untuk menemani beliau menuju misi baru.

Peninggalan pemutar piringan Tua

Kilas perjalanan itu, pada hari Jumat, 26 Mei 1905 Prefek Apostolik baru diterima oleh Paus Pius X dalam audiensi khusus. Paus Agung itu menyambutnya selaku Bapa yang baik, dan mengungkapkan kegembiaraannya bahwa Kapusin Belanda rela memikul beban berat dengan mengurus misi Borneo.

Dimulai dari situlah kilas sejarah mulai terekam, singkat cerita awal kedatangan Kapusin di Kalimantan Barat yaitu di kota Singkawang.

Foto missionaris utusan ke dua datang ke Kalimantan Barat

Maka Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang salah satu cagar sejarah yang menjaga dan merekam banyak sejarah. Baik itu tentang orang dayak (benda pusaka), maupun dari etnis Tionghua (benda-benda pusaka), yang sebagian terekam di museum Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang.

Sepeda Tua yang dahulu dipakai untuk kunjungan ke stasi-stasi -untuk keterangan tahun boleh langsung dilihat di museum

Dari tangkint (pedang orang Dayak Kanayant), pedang tentara cina kuno, pistol tentara Belanda, foto asli Raja Sambas, mesin tik kuno, sepeda misionaris kuno, foto-foto kuno, baju Kapusin para biarawan pendahulu dan masih banyak lagi hal-hal yang membuat mata ‘terbelanga’ secuplikan rekaman sejarah.

Bagi anda yang penasaran dengan tempat ini, datangilah lansung ke Gereja Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Disana banyak sekali sejarah, baik dari catatan Belanda tentang suku Dayak yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan berbagai benda pusaka dalam museum tersebut.

Menjadi kebanggan jika kita boleh melihat dan turut merasakan keaslian sejarah kalimantan melewati sedikit rekaman yang tersimpan di museum ini. Paling tidak, hal ini dapat menambah pengetahuan dan memperkaya diri dengan budaya lewat sejarah nyata. –Semz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2019 Keuskupan Agung Pontianak